Modal Awal Menjadi GTT
Pada postingan hari
kedua ini saya akan mulai membagikan pengalaman dan kisah hidup saya saat
menjadi GTT. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, saya akan mengabadikan
kisah pengalaman saat menjadi GTT agar menjadi catatan bersejarah dalam hidup
saya. Insyaallah yang akan menjelma menjadi sebuah buku.
12 tahun bukan waktu
yang sebentar saya menyandang status sebagai GTT. Sebelum saya menuliskan
pengalaman saya menjadi GTT akan saya tuliskan terlebih dahulu modal yang saya
punya untuk menjadi GTT. Pada bulan November 2006 saya dinyatakan lulus S1 PPKn
UNY. Saya menempuh pendidikan dengan lancar selama 4 tahun lebih 3 bulan. Dalam satu “geng” kami yang berjumlah lima orang sayalah yang lebih dahulu bisa
merampungkan. Dari 40 mahasiswa satu kelas belum ada 15 orang yang lulus pada
bulan November 2006 tersebut. Saya bersemangat menyelesaikan karena ingin
segera meringankan beban orang tua dalam membiayai sekolah. Masih ada satu adik
saya yang duduk di bangku SMA ketika saya dinyatakan lulus. Harapan saya adik
saya juga bisa menikmati bangku kuliah meski kami bukan orang berada.
Saya terlahir dari
keluarga dengan ekonomi menengah kebawah. Bapak dan Ibu sebagai buruh tani. Saya
nomor 3 dari 4 bersaudara. Dua kakak saya laki-laki tidak mengenyam bangku
kuliah karena merasa kasihan pada orang tua dan memilih mengalah biar saya dan
adik saya yang kuliah. Sewaktu kelas 3 SMA saya didaftarkan oleh guru kelas
saya pada waktu itu ada program PBU (Penelusuran Bibit Unggul) dengan melihat
nilai raport. Kata guru kelas saya, nilai raport saya memenuhi persyaratan
untuk bisa mengikuti seleksi PBU. Tapi yang menjadi kendala, saya bisa diikutkan
tetapi bukan di Yogyakarta. Saya juga kurang paham detailnya, hanya kemudian ketika
guru saya menanyakan kesediaan saya menolak karena di luar Yogyakarta tentu
akan terkendala biaya. Ketika itu saya masih buta urusan perkuliahan, dan orang
tua saya juga kaka-kakak saya sama sekali tidak tahu perkuliahan.
Sayapun menyampaikan
keinginan kepada orang tua untuk ikut mendaftar SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan
Tinggi Negeri). Orang tua saya terutama Ibu memberikan restu dan “diwanti-wanti”
dengan syarat akan berusaha dibiayai jika bisa lolos masuk PTN negeri. Jika
tidak lolos maka saya tidak akan dibiayai. Kataya kuliah di swasta mahal dan
tidak akan mampu membiayai. Alhamdulillah...rupaya takdir saya bisa merasakan
duduk di bangku kuliah. Saya diterima di Jurusan PPKn UNY sebagai pilihan kedua
yang saya ambil. Saya mengambil jurusan keguruan karena memang sejak kecil saya
ingin menjadi guru. Pada bulan September 2002 saya resmi menjadi mahasiswa UNY.
Ketika terdengar kabar
saya bisa diterima di UNY, muncul perbincangan di sekitar saya. Kata mereka apa
bisa besok kuliah sampai selesai? Orang tidak punya saja kog sok bergaya mau
kuliah segala, duit darimana? Untuk makan saja pas-pasan kog mau kuliah, apa
bisa membiayai? Tetangga di sekitar saya mencibir, mencemooh dan menghina saya.
Kata-kata yang mereka lontarkan justru menjadi cambuk bagi saya untuk
bersemangat kuliah dan akan saya tunjukkan pada mereka jika saya pasti mampu.
Saya ingat betul ketika
tiba waktunya untuk membayar SPP yang secara bersamaan, maka gabah (padi yang
sudah kering) dengan jumlah seadanya semuanya segera digiling. Kata Ibu “urusan
makan dipikir nanti sambil jalan”. Kadang masih harus mencari tambahan dari
usaha jualan makanan ringan yang dititipkan di warung sekolah dengan jumlah
yang pas-pasan.
Begitulah sedikit
lika-liku perjuangan untuk mendapatkan ijazah sarjana. Pada bulan Desember 2006
secara resmi saya mengantongi ijazah dan akta mengajar. Gelar Sarjana
Pendidikan berhasil saya raih. Bahagia ketika itu berhak menuliskan tambahan 3
huruf di belakang nama. Dan saya tunjukkan kepada orang-orang yang mencibir bahwa
saya mampu menyelesaikan pendidikan dengan lancar. Berbekal ijazah S1 dalam
genggaman sayapun meneruskan perjuangan hidup saya untuk melamar pekerjaan.
Saya bersemangat mencari informasi lowongan kerja dari surat kabar (dahalu
informasi belum terupdate dan lengkap seperti sekarang). Sayapun
menuliskan lamaran untuk sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA di sekitar tempat tinggal
saya. Beberapa lamaran sudah saya masukkan, tetapi belum ada yang memanggil.
Hingga pada suatu hari, tetangga saya yang seorang guru sekolah dasar menanyakan kepada saya apakah sudah lulus? Apakah sudah mendapat pekerjaan? Sayapun menjawab jika sudah lulus dan belum mendapatkan pekerjaan. Beliau kemudian memberikan informasi tentang keadaan di sekolahnya. Saya menyampaikan jika jurusan saya bukan dari PGSD. Beliau menjawab, tidak apa-apa yang penting sudah lulus kuliah dan itu jurusan kependidikan. Ijazah sarjanamu sudah bisa menjadi modal untuk menjadi guru.
Bagaimana kelanjutan kisah ini? Simak di postingan saya selanjutnya ya..
Salam Literasi,
Rofiana
2 Komentar
Wah ... Perjalan hidup yang sungguh menginspirasi. Mengingatkan saya pada tetangga yang juga orang Jawa. Ia rela tak kuliah dan memilih bekerja usai lulus SMA agar adik adiknya lanjut sekolah.
BalasHapusSaya doakan tuntas menjadi buku agar dapat terus menginspirasi 👍🏻
Aamiin...mohon doanya ya Bu Ditta..akan saya abadikan kisah perjalanan hidup menjelma menjadi sebuah buku..semoga konsisten..
Hapus