Aku
Tahu Diri
Pada
hari ketujuhbelas tantangan lomba blog “Menulis di Blog Jadi Buku” ini saya
akan melanjutkan postingan saya yang kemarin. Kali ini judul yang saya tulis
“Aku Tahu Diri”. Pada postingan sebelumnya, saya menuliskan disaat saya harus “tersingkir”
ketika sekolahku mendapatkan tambahan kuota CPNS sebanyak 3 orang guru. Dengan
keadaan sekolah yang tidak pararel untuk guru berstatus CPNS saja lebih satu
orang.
Sebagai guru yang berstatus tidak
tetap seharusnya memang sudah menata hati dan siap mental untuk siap menerima
segala konsekuensi yang ada. Posisi sebagai guru tidak tetap sewaktu-waktu bisa
digantikan oleh guru berstatus CPNS maupun PNS. Surat Keputusan/SK Pengangkatan
yang dipunyai GTT adalah SK yang dikeluarkan oleh sekolah yang ditandatangani
oleh kepala sekolah. SK tersebut tentunya tidak memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan kuat. Jika di sekolah swasta
malah lebih kuat karena yang dikeluarkan adalah SK yang ditandatangani oleh
kepala/ketua yayasan yang mempunyai kekuatan hukum.
Saya
harus tahu diri dengan posisi saya. Mau tidak mau suka ataupun tidak harus
menerima segala konsekuensi yang ada. Saat tahu sekolahku mendapat penempatan
CPNS tentu sedih dan kecewa yang kurasa. Itu semua adalah hal yang manusiawi
dan wajar bukan? Tetapi saya harus menerima dengan legowo dan lapang dada. Untunglah
saat itu saya tidak sendiri. Ada lagi satu temanku GTT yang juga harus
tergeser. Kami berdua kemudian dipanggil bu kepala sekolah untuk diajak bicara
dari hati ke hati.
Saat
itu saya tahu apa yang akan disampaikan beliau. Saya sudah menata hati setelah kemarin
tahu kenyataan yang ada. Bu kepala tidak bisa berbuat banyak terkait dengan
kebijakan yang ada. Sebenarnya sekolah bisa saja tetap mempertahankan kami.
Tapi konsekunsi lain yang harus kami terima kami tidak bisa memegang satu kelas
utuh. Permasalahan lain yang muncul kemudian masalah administrasi. Ketika akan membuat
SK Pembagian Tugas Mengajar tidak mungkin jika satu kelas akan diampu oleh 2
guru. Sedangkan di SD dengan sistem guru kelas bukan guru mata pelajaran. Selain
itu nanti juga akan ada permasalahan ketika mengajukan data insentif. Maka demi
kebaikan dan nasib ke depan kami disarankan untuk menjadi guru kelas dengan
konsekuensi pindah ke sekolah lain yang masih kurang guru kelas. Bingung dan
tidak tahu harus berbuat apa. Ketika itu saya hanya menjawab “Saya ikut bu
kepala saja, baiknya bagaimana untuk kami agar tetap bisa mengabdi”
Bu
kepala sekolah kemudian bersedia membantu dan mencarikan informasi dari
teman-teman kepala sekolah lain sekolah mana saja yang masih membutuhkan guru
kelas. Guru dengan status GTT kadang masih dipandang sebelah mata. Ada beberapa
sekolah yang tidak bersedia menerima karena jumlah GTT yang ada sudah banyak
dan terkait dengan honor. Honor memang dibebankan oleh BOS, tetapi alokasi
untuk pembiayaan honorer minim sehingga jika menambah jumlah GTT tsudah tidak
ada anggran lagi. Itulah yang menyebabkan tidak semua sekolah bersedia menerima
pindahan GTT.
Selain
menunggu informasi dari bu kepala sekolah saya juga berinisiatif berusaha
mencari informasi dari teman-teman dan juga mencari info lowongan pekerjaan di
surat kabar. Saat itu pernah terpikirkan apa berhenti saja menjadi GTT dan
memilih pekerjaan lain. Sambil menunggu informasi dari bu kepala sekolah saya
juga sempat memasukkan lowongan pekerjaan di pabrik sebagai tenaga
administrasi. Tetapi kelihatannya saya memang ditakdirkan menjadi guru. Selang
beberapa minggu bu kepala sekolah memberikan rekomendasi ada 2 sekolah yang
kekurangan guru kelas dikarenakan ada yang pensiun. Dalam hati ada susah
senangnya. Senangnya karena bisa tetap menjadi guru, susahnya harus berpindah
sekolah. Saya sudah merasa cocok dan nyaman di sekolah tersebut. Ditambah lagi setiap
hari bisa mengunjungi ibu. Tapi mau bagaimana lagi. Saya harus sadar diri dan
sadar posisi.
Bagiamana cerita saya selanjutnya?
Sekolah mana yang akhirnya saya pilih? Simak cerita selanjutnya pada
postingan yang akan datang !
Salam Literasi,
Rofiana, S.Pd.
SD Pungkuran Pleret Bantul DIY
NPA 11041400010
0 Komentar