Saat Harus Tersingkir
Pada hari keenambelas
tantangan lomba blog “Menulis di Blog Jadi Buku” ini saya akan melanjutkan
postingan saya yang kemarin. Kali ini judul yang saya tulis “Harus Tersingkir”.
Pada postingan sebelumnya, saya menuliskan kisah saat saya bisa mendapatkan
insentif. Ikut merasakan apa yang teman-teman rasakan.
Menjadi seorang GTT tentu
sudah paham tentang kewajiban yang harus dilakukan dan hak yang harus diterima.
Kewajiban mengajar yang dilakukan sama halnya dengan guru berstatus PNS mengisi
aktivitas sehari-hariku. Hanya saja kadang jam kepulangan ada toleransi lebih
awal dari guru PNS. Untuk hak sendiri jelaslah berbeda dengan guru PNS. Saya
tidak menampik jika saya tetap bertahan menjadi GTT dengan harapan suatu saat
nanti akan diangkat menjadi CPNS. Hal tersebut adalah pemikiran yang lumrah
dalam hati para GTT. Ditambah saya menjadi GTT di instansi pemerintah. Saat ada
program tunjangan sertifikasi, guru berstatuts GTT di sekolah negeri tidak
mempunyai hak untuk mendapatkan. Ada yang mengatakan jika GTT di sekolah negeri
besok akan ada “iming-iming” pengangkatan menjadi CPNS sedangkan di swasta
tidak akan ada pengangkatan tetapi bisa sertifikasi. Pemikiran seperti itulah
yang membuat kami tetap bertahan dan bersabar untuk menjadi GTT meskipun “gaji”
yang diperoleh belum layak dan masih jauh dari UMR.
Sebagai GTT tentu juga
harus sadar dengan posisi yang dimiliki. Posisi menjadi guru tidak tetap harus
siap menata hati dan menata mental jika sewaktu-waktu sekolah kedatangan guru
berstatus CPNS ataupun PNS. Sebagai GTT harus siap menerima nasib dan kebijakan
yang diputuskan. Beberapa teman-teman GTT di sekolah lain mengalami nasib
tersebut. Harus tersingkir dengan adanya rekruitmen CPNS dimana di sekolah
tempat mengabdi mendapat penempatan guru baru berstatus CPNS. Sebagai GTT tentu
tidak bisa berbuat apa-apa dengan adanya kebijakan tersebut. Yang bisa
dilakukan harus menerima dengan logowo. Saya mengerti dan paham dengan apa yang
mereka rasakan. Memang bukan salah si guru baru tersebut. Itu semua karena
menjalankan kebijakan pemerintah yang sudah diputusakan. Teman-temanku GTT “terpaksa”
harus berpindah tempat ke sekolah-sekolah yang membutuhkan. Kebetulan pada saat
itu tahun 2010 sekolahku tidak mendapatkan penempatan guru baru. Justru karena
adanya GTT yang tergeser dengan guru CPNS di sekolahku malah “menampung” GTT
pindahan dari sekolah lain yang tergeser guru baru. Dari segi usia dan
pengalaman guru baru tersebut rata-rata fresh graduate alias lulusan
baru. Pengalaman mengajar tentu belum banyak. Tetapi secara administrasi mereka
menang karena SK CPNS sudah di tangan. Begitulah problematika GTT. Saat
mengetahui sekolahku tidak mendapat penempatan guru CPNS tentu kelegaan yang
kurasakan.
Tidak bisa kupungkiri,
rasa was-was dan khawatir juga bersemayam di hati. Bagaimana jika taun depannya
ada rekruitmen CPNS lagi dan sekolahku akan mendapatkan alokasi penempatan?
Bagaimana nasibku kemudian? Pertanyaan tersebut menghantuiku. Walaupun dalam
hati sudah kutanamkan kata “pasrah” kepada Allah, nyatanya rasa itu tetap ada. Pada
tahun tersebut saya juga ikut mendaftar CPNS, tapi lagi-lagi harus gagal.
Apa yang saya
khawatirkan pada akhirnya sugguh-sungguh terjadi. Pada tahun 2011 ada
penempatan guru CPNS hasil dari rekruitmen CPNS pada tahun 2010. Apa yang saya
takutkan terjadi. Rasa was-was dan khawatir yang saya rasakan akhirnya nyata. Sekolah
saya mendapatkan penempatan guru CPNS. Bahkan mendapatkan 3 orang CPNS
sekaligus. Padahal saat itu guru sudah pas dan bukan pula sekolah pararel. Jadi
hanya membutuhkan 6 orang guru kelas saja. Jujur saya katakan saat itu perasaan
saya sedih dan kecewa saya rasakan. Walaupun memang dari awal saya tahu segala
konsekuensi yang akan saya terima sebagai guru berstatus GTT. Sebagai manusia
biasa hal tersebut lumrah terjadi kan? Jika dihitung saat itu GTT guru kelas
ada 2, saya dan teman saya yang pada tahun lalu tergeser guru CPNS. Jadi jika
dihitung untuk guru berstatus PNS dan CPNS saja masih sisa satu. Saya sebagai
guru berstatus GTT berusaha menerima dengan legowo dan berbesar hati saat harus
“tersingkir”. Sedih dan kecewa wajar saya rasakan. Tetapi semua memang harus terjadi
seperti itu.
Lalu apa yang kemudian
terjadi padaku? Bagaimana nasibku selanjutnya? Simak cerita selanjutnya pada postingan
yang akan datang !
Salam Literasi,
Rofiana, S.Pd.
SD Pungkuran Pleret Bantul DIY
NPA 11041400010
0 Komentar