Gaji Pertamaku
Pada hari keenam tantangan lomba blog “Menulis di Blog Jadi Buku” ini saya akan melanjutkan postingan saya yang kemarin. Kali ini judul yang saya tulis “Gaji Pertama”. Pada postingan sebelumnya, saya telah menuliskan bahwa sudah hampir satu bulan saya bekerja di sekolah tersebut. Masih terngiang apa yang disampaikan Bapak Kepala sekolah jika sudah sanggup bekerja di sini artinya siap mengabdi bukan mencari gaji. Tetapi tetap saja di hati kecil saya terbesit sebuah tanya berapa “gaji” yang akan saya peroleh. Dari wawancara dengan kepala sekolah tidak diberitahukan berapa gaji yang akan saya terima.
Sebagai manusia biasa, tentu saja dalam hati kecil juga timbul rasa “penasaran” berapa gaji yang akan saya terima. Walapun berulang kali teman saya mengatakan tidak usah mikir gaji, tetap saja terbesit rasa penasaran, he he he. Hari demi hari terlewati dengan rutinitas di sekolah. Menjalani rutinitas dengan lingkungan yang kondusif membuat saya betah. Semua guru ramah serta penuh kekeluargaan dan kehangatan. Sesekali bercanda gurau melepas penat setelah rutinitas mengajar. Tugas saya pun masih tetap seperti awal bekerja di sini. Mengelola buku berkarung-karung yang terbengkalai akibat gempa bumi. Dengan banyaknya jumlah buku yang ada menyebabkan belum juga selesai.
Tidak terasa satu bulan sudah saya bekerja. Hari yang dinantikan pun tiba. Bu Asih sebut saja begitu selaku bendahara gaji, memanggil saya. Tersungging senyum di bibir disertai rasa penasaran yang membuncah. Saya yakin bahwa saya dipanggil untuk diberikan gaji..ha ha ha. Wahhh...gaji pertamaku, bisikku dalam hati. Kemudian Bu Asih berbicara “Mbak, karena njenengan sudah sebulan bekerja di sini, ini ada sekedar honor dari sekolah yang tidak seberapa, semoga bermanfaat ya”. Bu Asih menyodorkan amplop berwarna putih dan bertuliskan namaku. Tidak lupa saya diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada sebuah buku tulis yang tertulis nama saya dan nama teman honorer lain sebagai bukti tanda terima. Ahh...tak sabar rasanya membuka amplop putih yang kugenggam sebagai jerih payah bekerja selama sebulan. Mau langsung dibuka jelas kurang etis dong ya!
Sesampai di rumah segera kubuka amplop berwarna putih tersebut, dan tentu saja masih dengan rasa penasaran yang belum sirna. Perlahan kubuka lem yang masih terekat, dan taraaa.....selembar uang berwarna merah seolah tersenyum manis kepadaku. Alhamdulillah...bisikku dalam hati. Gaji pertama yang aku terima sebagai honorer pada tahun 2007 waktu itu sebesar Rp 100.000,00. Memang jika ditanya sebagai manusia biasa pasti akan mengatakan jika gaji sebesar Rp 100.000,00 masih belum layak dan kurang. Tapi, karena saya sudah bersedia “mengabdi” maka saya menerima gaji tersebut dengan senang hati.
Setelah menerima gaji tersebut kemudian berfikir mau untuk apa gaji pertama ini ya? Terbesit dalam hati untuk memberikan sebagaian kepada Ibu. Esok harinya, sepulang sekolah saya mampir ke rumah Ibu, saya sampaikan bahwa sudah gajian dan berniat memberikan sebagian kepada Ibu. Ibu malah menolaknya, katanya “Ibu tidak minta Nduk, terserah untuk apa uangmu, apa untuk beli barang yang awet saja sebagai kenang-kenangan”. Ibu malah menolak dan memberikan usul untuk memberi sesuatu, katanya barang yang awet sebagai kenang-kenangan.
Terbesitlah keinginan untuk membeli lemari plastik. Lemari plastik yang akan kutaruh di kamar, karena pada waktu itu di kamar belum ada lemarinya. Sayapun menyampaikan maksud untuk membeli lemari kepada suami dan disetujui. Sore harinya, dengan diantar suami jadilah gaji pertamaku berubah wujud menjadi lemari, tentu dengan ditambahi suami, he he he. Kalau tidak salah ingat harga lemari plastik ketika itu 100 ribu lebih. Sampai sekarang lemari plastik berwarna coklat bertuliskan “napolly” masih berdiri gagah di kamar. Walaupun saya sudah pindah rumah (dulu awal menikah tinggal bersama mertua) lemari tersebut ikut pula berpindah, setia mengikuti si empunya. Benar kata Ibu, lemari adalah barang yang awet bisa sebagai kenang-kenangan yang sampai sekarang tak terlupa. Gaji pertamaku untuk membeli lemari.
Demikianlah sedikit sepenggal cerita masa lalu tentang gaji pertamaku. Tentu Anda juga punya cerita tersendiri dengan gaji pertama Anda dan saya yakin ada kesan tersendiri. Apakah Anda juga masih mengingatnya? Cerita tentang gaji pertama ini akan melengkapi true strory bersama cerita-cerita lainnya yang akan terangkum dalam sebuah buku.
Simak kisah selanjutnya ya!
Salam Literasi,
Rofiana, S.Pd
SD Pungkuran Pleret Bantul DIY
NPA 11041400010
16 Komentar
Wah gaji pertama. Saya dapat gaji pertama 200 ribu saat wiyata bakti. Kebeli magic com yang alhamdulillah smp sekarang masih bisa dipakai.
BalasHapusAlhamdulillah masih awet..almari saya sampai sekarang juga masih..hehe..
HapusAlhamdulillah... yg sedikit dr hsl guru akn berkah in syaa allah..
BalasHapusAlhamdulillah...iya Bu..semoga berkah ya..
HapusMantap. Inspiratif, kreatif dan informatif. Alhamdulillah besar segitu mah Bu. Lnjutkn 👍🙏
BalasHapusiya..lumayan 100 ribu 14 tahun yang lalu..hehe..
HapusMantap...itu rata2 yg alami "Suara Hati Guru Honorer SBU"💪💪💪
BalasHapusIya Pak..tetap syemangat ya Pak..
Hapusgaji pertama pasti akan selalu berkesan
BalasHapusgaji pertama pasti akan selalu berkesan
BalasHapusBetul sekali Bu Pipit..
HapusMo La Se Wu, itu gaji honor pertamaku. Tidak cukup untuk beli almari, apalagi lemari yang lebih baku dari lemari, tentu belum bisa kubeli.
BalasHapusAsyik, mendapat cerita kisah nyata.
Ha ha maksud saya "apalagi lemari yang lebih baku dari almari ..."
HapusMatur nuwun Pak D...editor jeli dan teliti tenan...mantap...
HapusMantap. Menarik nih bunda
BalasHapusTerimakasih Bund Aam...sepenggal cerita masa lalu..
Hapus